Bookmark
All Settings
Tema
Jenis Font
Font Size
Setting default resizer adalah 1 atau 1.0
Text to Speech
Setting default Speed dan Pitch adalah 1 atau 1.0
Setting Default
Tindakan ini dapat menghapus seluruh data pengaturan, tema, text to speech, jenis font, bookmark bahkan histori penelusuran
Chat WhatsApp

Rahayu Saraswati Undur Diri dari DPR dengan Permohonan Maaf Mendalam

Kisah mengundurkan diri Rahayu Saraswati, keponakan Prabowo, dari DPR akibat komentar kontroversial di podcast.
Rahayu Saraswati Undur Diri dari DPR dengan Permohonan Maaf Mendalam
Sumber: antaranews.com

Jejaknesia.com - Bayangkan sebuah hari biasa berubah menjadi badai media sosial dalam hitungan menit. Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, anggota DPR RI dari Fraksi Gerindra dan keponakan Presiden Prabowo Subianto, mendadak menjadi sorotan bukan karena program legislasi, melainkan karena sepenggal kalimat dalam podcast yang dilekatkan stempel “menyerang mentalitas kolonial”. Pernyataan tersebut memicu gelombang kritik dan akhirnya memaksa dirinya mengundurkan diri.

Kronologi Singkat Kejadian

Pernyataan Kontroversial dalam Podcast

Dalam sesi podcast “On The Record” bersama ANTARA TV, Saraswati membahas berbagai topik seperti hak perempuan dan ekonomi kreatif. Namun, sekitar 2 menit cuplikan yang viral di media sosial memuat kalimat yang dianggap merendahkan perjuangan generasi muda—untuk mendapatkan pekerjaan justru seperti menunggu 'pekerjaan masa kolonial'. Cuplikan itu menyulut kemarahan publik targeting kalimat tertentu, tanpa konteks lengkap podcast berdurasi 42 menit.

Pengunduran Diri dan Permohonan Maaf

Merasa bertanggung jawab atas dampak pernyataannya, Saraswati akhirnya menyampaikan pengunduran diri sebagai anggota DPR RI melalui Instagram resmi. Ia menjelaskan bahwa maksudnya justru ingin mendorong kewirausahaan di era transformasi digital, tidak merendahkan siapapun. Namun, ia menyadari pernyataannya telah menyakiti banyak pihak—terutama mereka yang sedang berjuang membiayai hidup dan keluarga. “The fault lies entirely with me,” tuturnya.

Fraksi Gerindra menyatakan menghormati keputusannya, sambil menunggu proses administrasi sesuai aturan berlaku. Selama periode itu, ia dinyatakan diberhentikan sementara.

Gema dari Media dan Publik

Media massa nasional segera menyorot langkah dramatis ini—seperti yang diberitakan oleh ANTARA News. Artikel mereka menegaskan bahwa pernyataan yang menyinggung tersebut sudah memicu reaksi publik luas, hingga mengorbankan karier politik Saraswati.

Di sisi lain, netizen melalui kanal seperti Reddit menyuarakan pendapat menarik. Di satu thread r/indonesia, seorang user berkomentar:

“Nepotism is when the person isn't competent. But if you look at their track record, they’re competent… It’s a shame they’re not grounded.

Ada juga yang mencatat bahwa langkah Gerindra mungkin bersifat strategis untuk meredam konflik dan mengembalikan kepercayaan publik.

Pertama, ini adalah contoh nyata bagaimana satu celah—kalimat singkat tanpa konteks—dapat mengguncang stabilitas politik seseorang. Dalam era digital, viralisasi memang cepat, tetapi konteks seringkali hilang.

Kedua, reaksi cepat dan keputusan mengundurkan diri menunjukkan betapa sensitifnya iklim politik saat ini. Tuntutan akuntabilitas publik menjadi sangat tinggi, bahkan melebihi ruang untuk rekonsiliasi atau dialog mendalam.

Ketiga, ada paradoks generasi: meski maksudmu ingin mendorong kewirausahaan, kalimat yang tak hati-hati tetap bisa memunculkan citra merendahkan perjuangan masyarakat kecil.

Dalam perspektif saya, langkah Rahayu Saraswati bisa dianggap kritis namun mencerminkan ketegasan moral. Dalam politik, keberanian mengakui kesalahan bukan melemahkan melainkan memperkokoh kredibilitas jika dilakukan tulus. Namun, ini juga panggilan bagi semua pemilik suara publik: berhati-hatilah, karena setiap kata dapat memiliki ekor panjang bagi persepsi masyarakat.

Konteks Politik dan Harapan ke Depan

Peristiwa ini bukan hanya soal perseorangan, tetapi juga refleksi lanskap politik Indonesia—di mana figur publik, apalagi dengan koneksi keluarga kuat seperti keponakan presiden, berada di bawah sorotan tajam. Dinamika ini membuka ruang diskusi lebih luas tentang nepotisme, kewirausahaan, dan tanggung jawab publik. Dalam hal ini, keputusan mundurnya Saraswati bisa membuka pintu bagi evaluasi budaya politik yang lebih berorientasi etika dan sensitivitas sosial.

Semoga kisah ini menjadi pelajaran penting: dalam dunia yang terkoneksi penuh dengan teknologi, setiap ucapan punya bobot lebih dari sekadar kata—ia bisa menyulut konflik atau membuka dialog. Keputusan Rahayu Saraswati mundur, meski berat, bisa menjadi cerminan perubahan sikap sadar publik-politik yang lebih peka dan bertanggung jawab. Seiring kita melangkah ke masa depan, semoga semakin banyak pemimpin yang merangkul transparansi, refleksi diri, dan kepekaan sosial sebagai landasan gerak politik mereka.

Referensi

  • antaranews.com
  • jakartaglobe.id