Bookmark
All Settings
Tema
Jenis Font
Font Size
Setting default resizer adalah 1 atau 1.0
Text to Speech
Setting default Speed dan Pitch adalah 1 atau 1.0
Setting Default
Tindakan ini dapat menghapus seluruh data pengaturan, tema, text to speech, jenis font, bookmark bahkan histori penelusuran
Chat WhatsApp

Demo Pati Memanas, Bupati Sudewo Pilih Bertahan Meski Didesak Mundur

Kisah dramatis demo besar-besaran di Pati yang berujung ricuh, menuntut Bupati Sudewo mundur.
Demo Pati Memanas, Bupati Sudewo Pilih Bertahan Meski Didesak Mundur
Sumber: tirto.id

www.jejaknesia.com - Di balik ketenangan kota kecil yang dikenal dengan sebutan "Bumi Mina Tani", Pati, Jawa Tengah, sebuah badai besar telah datang. Bukan badai alam, melainkan badai protes yang mengguncang sendi-sendi pemerintahan daerah. Ribuan warga tumpah ruah ke jalan, membawa spanduk dan teriakan tuntutan yang menggema hingga ke telinga para pejabat. Aksi ini bukanlah sekadar unjuk rasa biasa, melainkan puncak dari sebuah kegelisahan yang telah lama dipendam. Pusat dari semua keramaian ini adalah satu nama: Bupati Sudewo, yang kini didesak mundur oleh rakyatnya sendiri.

Seperti alur cerita dalam sebuah novel yang penuh intrik, kisruh ini bermula dari kebijakan yang seolah-olah sepele namun memiliki dampak masif: kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang dianggap tidak masuk akal oleh warga. Peristiwa ini bukan hanya tentang angka-angka di atas kertas, tetapi juga tentang kepercayaan yang terkikis, janji yang diingkari, dan suara rakyat yang merasa tidak didengar. Mari kita selami lebih dalam, bab demi bab, bagaimana drama politik ini terbentang, hingga akhirnya memicu kericuhan yang tak terhindarkan.

Babak Awal Kenaikan Pajak yang Menghadirkan Resah

Drama dimulai dari meja-meja rapat pemerintahan. Kebijakan untuk menaikkan PBB disahkan dengan alasan yang logis di mata pemerintah, namun terasa seperti pukulan telak bagi sebagian besar warga Pati. Angka-angka kenaikan yang fantastis membuat banyak orang terkejut. Sebagian warga, terutama mereka yang hidup dari sektor pertanian dan usaha kecil, merasa tercekik. Mereka bertanya-tanya, apakah ini cara pemerintah mensejahterakan rakyatnya? Bagaimana mungkin pajak naik sedemikian drastis tanpa adanya sosialisasi yang memadai dan pertimbangan terhadap daya beli masyarakat?

Kenaikan ini bukan hanya membebani finansial, tetapi juga menyentuh aspek psikologis. Rakyat merasa kebijakan ini tidak berpihak kepada mereka. Seolah-olah, di tengah himpitan ekonomi, pemerintah justru menambahkan beban baru. Keresahan ini menyebar dari mulut ke mulut, dari desa ke desa, hingga akhirnya menemukan titik api yang siap meledak.

Puncak Kemarahan Warga Demo Besar-besaran yang Ricuh

Momen yang paling dinanti-nanti dalam cerita ini, namun juga yang paling dramatis, adalah ketika ribuan warga memutuskan untuk tidak tinggal diam. Mereka berkumpul, bukan hanya dari satu elemen masyarakat, tetapi dari berbagai kalangan. Salah satu kekuatan terbesar yang menggerakkan aksi ini adalah Aliansi Santri Pati (ASP), yang merasa ini adalah puncak dari kekecewaan warga. Mereka tidak hanya menuntut revisi kebijakan PBB, tetapi juga menuntut pertanggungjawaban tertinggi dari pemimpin daerah: Bupati Sudewo harus mundur dari jabatannya.

Pada hari yang ditentukan, massa berbondong-bondong menuju kompleks kantor bupati. Suasana yang awalnya penuh harapan untuk didengar, perlahan-lahan berubah menjadi tegang. Ketika tuntutan mereka tidak kunjung menemui titik terang, situasi menjadi tak terkendali. Kericuhan pun pecah. Aparat keamanan dan massa berhadapan, memicu bentrokan yang memilukan. Sebuah insiden yang seharusnya menjadi dialog, justru berakhir dengan kekerasan.

Korban Luka dan Dampak Kericuhan

Dampak dari bentrokan ini meninggalkan luka, baik fisik maupun batin.

Demo pati memanas, korban luka-luka
Sumber: bbc.com

Data terbaru menunjukkan bahwa setidaknya 64 orang luka-luka. Mereka adalah para demonstran, aparat keamanan, bahkan awak media yang sedang meliput. Peristiwa ini menjadi catatan kelam dalam sejarah demokrasi lokal, menunjukkan betapa rapuhnya situasi ketika komunikasi antara pemerintah dan rakyat terputus. Korban-korban ini adalah saksi bisu dari kegagalan dialog, pengorbanan yang tak seharusnya terjadi.

Posisi Bupati Sudewo dalam Pusaran Badai

Di tengah tuntutan mundur yang begitu masif, Bupati Sudewo berada dalam posisi yang sangat sulit. Namun, ia tidak menunjukkan tanda-tanda akan menyerah. Dalam sebuah pernyataan yang tegas, ia menolak untuk mundur

Sudewo menolak untuk mundur
Sumber: bbc.com

Ia beralasan bahwa kebijakan kenaikan PBB sudah melalui kajian dan sesuai prosedur yang berlaku. Baginya, tuntutan mundur adalah hal yang tidak konstitusional dan bukan solusi atas masalah yang ada. Ia memilih untuk tetap bertahan di kursi kekuasaannya, menghadapi badai yang diciptakan oleh rakyatnya sendiri.

Bupati Sudewo menyadari bahwa situasi ini adalah ujian berat bagi kepemimpinannya. Ia berpendapat bahwa kekisruhan ini tidak hanya disebabkan oleh PBB, tetapi juga dipicu oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Pernyataan ini, tentu saja, semakin memperkeruh suasana dan membuat jarak antara dirinya dengan warga semakin lebar. Sikapnya yang memilih untuk tidak mundur, bagaikan sebuah pernyataan perang dingin yang siap dilanjutkan ke babak selanjutnya.

Prinsip Dasar Pemerintahan yang Terabaikan Menurut KPPOD

Di tengah semua drama ini, ada suara-suara bijak yang mencoba menengahi. Salah satunya adalah Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD). Organisasi ini menyoroti bahwa kisruh ini bukan sekadar tentang kenaikan pajak. Ada prinsip dasar dalam pemerintahan daerah yang terabaikan, yaitu prinsip akuntabilitas dan transparansi. Kenaikan PBB yang tidak disosialisasikan dengan baik, kurangnya dialog, dan ketidakmampuan pemerintah daerah untuk mendengarkan aspirasi rakyat, adalah akar masalah yang sesungguhnya.

Menurut KPPOD, pemerintah daerah seharusnya tidak hanya fokus pada peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) semata, tetapi juga harus memperhatikan dampak sosial dan ekonomi dari setiap kebijakan yang diambil. Ketiadaan komunikasi yang efektif adalah kegagalan fatal. Ini adalah pelajaran berharga bagi setiap pemimpin daerah di Indonesia, bahwa kekuasaan tanpa rakyat adalah ilusi.

Kisah ini, tentang Pati yang bergejolak, bukanlah sekadar berita yang muncul dan akan hilang. Ini adalah cerminan dari dinamika politik dan demokrasi kita. Ketika suara rakyat tidak lagi didengar, ketika kebijakan terasa menindas, maka perlawanan adalah sesuatu yang tak terhindarkan. Kisruh di Pati adalah sebuah pengingat bahwa pemimpin yang baik bukanlah mereka yang hanya pandai membuat kebijakan, tetapi mereka yang mampu merangkul, mendengarkan, dan merasakan apa yang dirasakan oleh rakyatnya. Masa depan Pati kini berada di persimpangan jalan, dan hanya waktu yang bisa menjawab, apakah dialog akan kembali menemukan jalannya, atau perpecahan ini akan semakin dalam.

Bagaimana menurut Anda, langkah apa yang seharusnya diambil oleh Pemerintah Kabupaten Pati untuk meredam kekisruhan ini? Bagikan pendapat Anda di kolom komentar ya😋.

Referensi:

  • CNN Indonesia
  • Kompas.com
  • Kompas.tv