Bookmark
All Settings
Tema
Jenis Font
Font Size
Setting default resizer adalah 1 atau 1.0
Text to Speech
Setting default Speed dan Pitch adalah 1 atau 1.0
Setting Default
Tindakan ini dapat menghapus seluruh data pengaturan, tema, text to speech, jenis font, bookmark bahkan histori penelusuran
Chat WhatsApp

Heboh Seruan Bubarkan DPR Sahroni Balas dengan Teguran Pedas

"Respons Ahmad Sahroni terhadap gelombang kritik masyarakat yang menyerukan pembubaran DPR RI.
Heboh Seruan Bubarkan DPR Sahroni Balas dengan Teguran Pedas
Sumber: detik.com

www.jejaknesia.com - Bayangkan sebuah panggung, di mana tirai sejarah terbuka perlahan. Sorotan lampu memantul di wajah seorang wakil rakyat, Ahmad Sahroni. Ia berdiri, tenang, namun penuh kekuatan. Di seberang, badai kritik melanda — wacana pembubaran DPR menggema di media sosial, dibakar oleh keresahan publik terhadap angka tunjangan yang mencuat ke angkasa.

Resah Publik dan Tuntutan Pembubaran DPR

Isu ini tak muncul begitu saja. Narasi mengenai gaji dan tunjangan anggota DPR — yang dilaporkan mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah per bulan — membakar emosional masyarakat. Gelombang seruan “bubarkan DPR” menyapu linimasa, dipicu oleh ketidakpuasan terhadap wakil rakyat. VOI mencatat bahwa panasnya respons publik ini bahkan terpicu oleh kemunculan kembali video Dekrit Presiden Gus Dur, yang sempat mengguncang parlemen di masa lalu. Namun, pakar Hukum Tata Negara berpendapat bahwa pembubaran DPR bukan solusi, melainkan memperbaiki lembaga melalui partai politik sebagai jalan yang lebih berdaulat dan realistis.

Teguran Tegas dari Ahmad Sahroni

Di tengah derasnya seruan itu, Ahmad Sahroni angkat bicara dengan nada tegas. Ia menilai pandangan untuk membubarkan DPR bukan hanya keliru, tetapi menunjukkan “mental orang tolol” yang merusak kesehatan kritik konstruktif. Kritik boleh-memang bagian dari demokrasi—marah, mencerca, protes, semua itu bagian dari dinamika rakyat dan wakilnya. Namun, menurut Sahroni, ada etika yang harus dijaga agar kritik tidak menumpulkan kewarasan bersama.

Kritik Tanpa Etika, Merusak Mental Bersama

“Masyarakat boleh kritik, boleh komplain, boleh caci maki... tapi ada adat istiadat yang mesti disampaikan,” kata Sahroni. Ia menyelipkan peringatan bahwa hujatan yang berlebihan bukan hanya menyasar DPR, melainkan meruntuhkan mental kolektif.

DPR: Pilar Demokrasi yang Tak Bisa Digantikan

Sahroni juga mengingatkan bahwa DPR bukan hambatan sistem — melainkan bagian penting dari mekanisme check and balance dalam pemerintahan demokratis. Tanpanya, proses pemerintahan bisa kehilangan legitimasi dan keseimbangan.

Melodi Sejarah: Soekarno, Gus Dur, dan Warisan Politik

Lalu, layar kilas dibalik ke masa lampau. Sahroni menyentil bahwa gagasan bubarkan parlemen bukan monumen sejarah — Soekarno pernah menggunakan Dekrit 5 Juli 1959 untuk membubarkan Konstituante dan membentuk DPR-GR. Tahun 2001, Gus Dur pun mengeluarkan dekrit serupa, tetapi ditentang sehingga berujung pada sidang istimewa dan pemakzulannya. Dua refleksi yang menunjukkan bahwa jalan kekuasaan tak selalu linear, dan keputusan ekstrem seringkali menghadirkan konsekuensi politik yang berat.Kesimpulan: Kritik dengan Kesadaran — dan Harapan Perubahan

Dengan suara tegas namun manusiawi, Sahroni menutup panggung kritik ini: kita semua, baik wakil rakyat maupun rakyatnya, perlu ruang untuk memperbaiki, bukan menghancurkan. Kritik itu penting, tapi janganlah menjadi bagian yang memecah rasa hormat dan keinginan membangun bersama.

Demokrasi sejati bukan tentang meruntuhkan institusi, melainkan memperbaikinya dari dalam, dengan empati, dialog, dan integritas. Ide “bubarkan DPR” bisa jadi refleksi kekecewaan, tapi perbaikan lah yang terus menerus menjadi jalan paling mulia.

Penutup: Terima kasih telah menyimak kisah panggung politik ini. Semoga kritik yang hadir senantiasa menjadi dorongan untuk memperbaiki pemerintahan demi kepentingan rakyat, bukan sekadar untuk kepentingan pribadi.

Sumber Referensi

• EraNasional / BeritaSatu 
• Detik.com 
• RMOLSumut.id
• VOI.id